Ilmuwan Muslim Peraih Nobel
“Penciptaan fisika merupakan warisan bersama seluruh umat
manusia. Timur dan Barat, Utara dan Selatan, semua mempunyai saham yang sama di
dalamnya.” Kata-kata ini dinyatakan Abdus Salam, seorang peraih nobel fisika di
depan peserta Simposium Universitas PBB, Kuwait, 1981. Ia menyampaikan hal ini
untuk mengingatkan penduduk negara dunia ketiga yang merasa kalah bersaing di
dunia ilmu pengetahuan karena kekurangan kesempatan dan sumberdaya.
Fisikawan besar ini memang dikenal sangat peduli pada upaya memajukan
sains terutama di negara-negara berkembang. Kepeduliannya itu sangat mungkin
dilatarbelakangi pengalaman pahitnya menggeluti dunia sains di negerinya
sendiri. Abdus Salam dilahirkan di Jhang, Pakistan, tanggal 29 Januari 1926.
Meskipun orangtuanya bukanlah ilmuwan hebat, namun keluarganya memiliki tradisi
pendidikan yang cukup kuat. Ayahnya adalah pegawai departemen pendidikan di
daerah pertanian miskin.
Pada usia 14 tahun, Salam sudah memperlihatkan bakat
istimewanya di bidang sains. Ia memecahkan rekor nilai tertinggi untuk ujian
matrikulasi di Universitas Punjab. Beasiswa demi beasiswa pun diraihnya.
Setelah kuliah di Universitas Punjab, Salam meneruskan studinya ke St. John's
College, Inggris dan meraih gelar BA sekaligus untuk matematika dan fisika pada
1949. Hanya setahun berselang, Salam memenangkan Smith’s Prize di
University of Cambrigde untuk kontribusi pra-doktornya di bidang fisika yang
dinilai bermutu tinggi.
Pada usia 26 tahun, ia menerima gelar PhD untuk fisika teori
dari universitas yang sama. Tesisnya yang dipublikasikan tahun 1951 tentang
elektrodinamika kuantum telah membuatnya terkenal dan memiliki reputasi
internasional. Meskipun telah mendapat tawaran mengajar dan riset dari
almamaternya, Salam memilih pulang ke tanah airnya. Ia diangkat sebagai Kepala
Departemen Matematika Universitas Punjab. Namun di negeri tercintanya itu,
Salam justru tidak menemukan tradisi riset dan dukungan yang memadai, tidak ada
jurnal juga kesempatan menghadiri konferensi ilmiah. Bahkan ia disarankan pimpinannya
untuk melupakan riset-risetnya.
Setelah bertahan di Lahore selama tiga tahun, ia tersudut
pada pilihan dilematis: fisika atau Pakistan. Akhirnya Salam memutuskan kembali
ke Inggris. Tahun 1957 ia menjadi Professor di Imperial College, universitas
terkenal di Inggris. Di sana prestasinya tidak terbendung lagi. Ratusan
publikasi hasil riset dan buah pemikirannya senantiasa mengundang penghargaan
serta kepercayaan menduduki jabatan tinggi di berbagai institusi. Di PBB saat
itu, Salam dipercaya sebagai sekjenl bidang sains untuk konferensi penggunaan
damai energi atom, Jenewa, serta pimpinan komisi penasehat bidang sains dan
teknologi. Untuk negerinya, ia mengabdikan diri di bidang pendidikan, energi
atom dan ruang angkasa. Dia juga ditunjuk menjadi penasihat presiden untuk
bidang sains.
Pada tahun 1979, nama Abdus Salam tercatat dalam sejarah
perkembangan ilmu fisika dunia. Ia bersama Steven Weinberg dan Sheldon Glashow
dianugerahi Nobel Fisika untuk kontribusinya dalam menyatukan gaya
elektromagnetik dan gaya nuklir lemah. Teori yang dinamakan elektrolemah (electroweak)
menjadi suatu pijakan pengembangan teori penyatuan mahaagung (grand
unification theory) yang berusaha menyatukan kedua gaya ini dengan gaya
inti (gaya kuat). Sekarang teori yang dikembangkan Abdus Salam ini menjadi inti
penting dalam pengembangan model standar (stardard model) fisika
partikel. Kesahihan teori Abdus Salam ini sudah diuji pada
Superprotosynchrotron di CERN Geneva yang telah memimpin pada penemuan partikel
W dan Z.
Konon, penemuan grand unification theory itu
terinspirasi dari keyakinan Salam bahwa segala sesuatu terpancar dari satu
sumber, yakni Tuhan. Maklum, Salam adalah agamawan taat. Dalam tiap kesempatan,
ia selalu berujar, Quran telah menyediakan segala-galanya untuk eksplorasi
alam. “Alquran membimbing kita dalam memahami seluruh hukum alam ciptaan
Allah,” tulisnya. Karena itu, pada saat penghargaan Nobel, Salam mentilawahkan
beberapa ayat dari alquran dalam pidatonya di aula Nobel Hall. Inilah pertama
kalinya dalam sejarah, di aula itu, diperdengarkan ayat-ayat al-Quran.
Reputasinya yang kian melambung ternyata tidak membuat Salam
lalai untuk tetap berjuang mencari jalan agar orang-orang seperti dirinya yang
berasal dari dunia ketiga tidak kehilangan peluang besar menjadi ilmuwan
peringkat puncak. Bersama kolega-kolega Eropa dan Amerikanya, serta atas
bantuan PBB, pada 1964, berdirilah ICPT (International Center for
Theoritical Physics) di Trieste, Italia. Pendirian lembaga yang kemudian
secara reguler dikunjungi para ilmuwan dari 50-an negara berkembang ini menurut
Herwing Schopper, presiden masyarakat Fisika Eropa, merupakan sumbangan sangat
besar bagi komunitas fisikawan. Selain itu, iab juga mendirikan dan menjadi
presiden The Third World Academy of Sciences dan presiden pertama The
Third World Network of Scientific Organization.
Salam meninggal pada 20 November 1996 di Oxford, Inggris di
usia 70 tahun. Ia dimakamkan di tanah air yang teramat dicintanya. Atas
prestasinya, dunia pantas merugi. Sebab, Abdus Salam hanya hidup sekali.
Pretasi Salam memang layak dibanggakan. Ia telah mendedikasikan dirinya untuk
fisika dan kemanusiaan. Rasanya, semua penghargaan layak diterimanya. Ia
berhasil mengangkat prestasi kaum muslim yang lama tenggelam.
Siapapun yang menyimak upayanya yang tak kenal
lelah dalam riset fisika dan pengembangan tradisi ilmiah di negara berkembang,
rasanya setuju dengan apa yang pernah ditulis majalah sains internasional, New
Scientist, edisi 26 Agustus 1976, “Dunia merugi karena Abdus Salam hanya
dapat hidup sekali.